“Aja dolan wayah surup, mengko nek digondhol wewe!” (“Jangan bermain di waktu senja, nanti kalau diculik hantu wewe!”)
Barangkali, generasi postmillennial yang lahir pada awal abad ke-21 sudah tidak lagi mengenal pantang-larang tersebut. Bahkan, bisa jadi mereka pun tidak akrab lagi dengan apa, siapa dan bagaimana bentuk sesosok wewe itu. Bahkan tak sedikit pula yang dengan tegas menyergah dengan kata-kata “Ah, mitos!”, “itu ‘kan cuma takhayul!”, atau malah dari kalangan orang Jawa sendiri sering terbetik kata-kata “gugon tuhon kok diandel” (gugon-tuhon kok dipercaya). Hal ini membuktikan beberapa hal, di antaranya bahwa gugon tuhon ini telah lekang dimakan zaman, atau bahkan juga berarti lain: bahwa manusia Jawa sedang berubah menuju pola pikir yang lebih rasional, pragmatis, dan bisa jadi, juga hedonistik: semata-mata mengejar kenikmatan inderawi tanpa mempedulikan asas nilai, termasuk di dalamnya nilai-nilai kebudayaan yang terkandung dalam berbagai produk peradaban, di antaranya gugon tuhon.