“Aja dolan wayah surup, mengko nek digondhol wewe!” (“Jangan bermain di waktu senja, nanti kalau diculik hantu wewe!”)
Barangkali, generasi postmillennial yang lahir pada awal abad ke-21 sudah tidak lagi mengenal pantang-larang tersebut. Bahkan, bisa jadi mereka pun tidak akrab lagi dengan apa, siapa dan bagaimana bentuk sesosok wewe itu. Bahkan tak sedikit pula yang dengan tegas menyergah dengan kata-kata “Ah, mitos!”, “itu ‘kan cuma takhayul!”, atau malah dari kalangan orang Jawa sendiri sering terbetik kata-kata “gugon tuhon kok diandel” (gugon-tuhon kok dipercaya). Hal ini membuktikan beberapa hal, di antaranya bahwa gugon tuhon ini telah lekang dimakan zaman, atau bahkan juga berarti lain: bahwa manusia Jawa sedang berubah menuju pola pikir yang lebih rasional, pragmatis, dan bisa jadi, juga hedonistik: semata-mata mengejar kenikmatan inderawi tanpa mempedulikan asas nilai, termasuk di dalamnya nilai-nilai kebudayaan yang terkandung dalam berbagai produk peradaban, di antaranya gugon tuhon.
Begitu menyebut tentang gugon tuhon, tentu saja yang pertama kali terlintas dalam benak adalah “segala hal yang tak masuk akal”, “cerita tentang pantang-larang yang menyebabkan kuwalat”, atau bahkan “cerita orang kuno yang cuma isapan jempol”. Hal ini tentu menjadikan asumsi orang tentang gugon tuhon menjadi sangat negatif, apalagi di tengah kesadaran masyarakat untuk beragama secara formal, yang jelas-jelas menjadikan gugon tuhon sebagai salah satu “musuh bersama” dalam nyaris agama apapun. Secara etimologis, kata gugon tuhon berasal dari gugu (“dianut-dipercaya”) dan tuhu (“benar, sungguh-sungguh”). Jadi, pada dasarnya gugon tuhon sendiri bisa dimaknai sebagai “hal-hal yang dipercaya masyarakat, karena biasanya benar-benar terjadi”. Walaupun demikian, karena pembuktian secara empiris terhadap hal-hal tersebut sangat kurang di masa lalu, maka gugon tuhon pun dianggap sebagai sesuatu yang kontraproduktif bagi kemajuan peradaban manusia, lebih-lebih di era modernitas yang semakin menepikan aspek-aspek nrima, legawa, sabar dan memayu hayuning bawana, yang dahulu identik dengan sikap hidup orang Jawa secara umum. Bahkan sikap-sikap arif seperti ini justru dipandang sebagai bentuk apologi atau pemaafan diri orang Jawa terhadap keterjajahan, kemunduran dan kekalahan mereka sendiri dalam percaturan peradaban.
Menurut Ansori (2021) dalam masyarakat Jawa setidaknya ada tiga macam gugon tuhon: (1) gugon tuhon salugu, yang terkait dengan hubungan orangtua dan anak, (2) gugon tuhon wasita sinandi yakni gugon tuhon yang diberikan dalam bentuk kalimat sandi atau samar-samar, dan (3) gugon tuhon wewaler yakni pantangan atau larangan untuk masyarakat yang diberikan secara keras. Gugon tuhon salugu dicontohkan oleh Ansori di antaranya pada kasus ora ilok dolanan beras, mundhak tangane kithing (tidak baik seorang anak bermain dengan butiran beras, nanti tangannya cacat) atau aja nglungguhi bantal, mundhak bokonge wudunen (jangan menduduki bantal, karena akan menyebabkan pantatnya berbisul). Sekilas pintas, hal-hal tersebut memang tidak ada kaitannya sama sekali, bahkan secara ilmiah orang akan menolak adanya kaitan antara kedua hal tersebut, yakni antara bermain beras dan tangan cacat, atau menduduki bantal dengan timbulnya bisul. Akan tetapi, jika diselami dengan lebih dalam, pantangan-pantangan tersebut sebenarnya bermaksud untuk mempersiapkan seorang anak memasuki dunia bermasyarakat dengan memberikan rambu-rambu etika dan meningkatkan kecerdasan sosialnya. Lambat laun, setelah semakin dewasa dan telah mencapai kematangan berpikir (gaduk nalare), seorang anak sebagai anggota masyarakat akan menerima dan bahkan meneruskan gugon tuhon itu kepada generasi selanjutnya, dengan harapan bahwa anak-cucunya akan memiliki kecerdasan sosial yang sama.
Gugon tuhon wasita sinandi bisa dilihat pada kalimat semacam aja mbaleni kokoh, (jangan memakan lagi nasi yang sudah terlanjur dimakan tapi ditinggal pergi sejenak). Memang, secara dalil hal tersebut tidak berdasar, dan bahkan dianggap sangat sepele. Namun sebenarnya gugon tuhon ini juga mengandung maksud-maksud pendidikan, di antaranya: dalam beraktivitas apapun, seseorang harus berkonsentrasi. Jika waktunya makan, ya makan. Jika waktunya tidur, ya tidur. Seringkali hal tersebut dilanggar oleh masyarakat yang mengklaim dirinya “modern” dengan dalih time is money, waktu adalah uang. Pada akhirnya, dalam masa-masa produktifnya (usia 18 tahun ke atas sampai menjelang usia lanjut) banyak manusia Jawa modern yang mengeluhkan bahwa sepanjang hayatnya mereka baru sadar bahwa telah “kehilangan dirinya sebagai manusia”, sebagai akibat terlalu fokus mengejar jabatan, kekayaan ataupun pujian di depan umum karena kurangnya meningkatkan aspek empati dan simpati dalam dirinya yang dapat diolah sejak awal dengan menjadi pribadi yang meneb dan sareh. Dalam perspektif dunia kesehatan, meninggalkan makanan yang masih disantap untuk beraktivitas lain memiliki resiko di antaranya adanya kuman yang masuk (dari lalat atau hewan lain yang tidak terawasi) atau higienitas yang tidak terjaga karena kita cenderung abai untuk mencuci tangan lagi sebelum melanjutkan makan, padahal dari aktivitas lain tersebut sangat riskan terjadi paparan penyakit.
Gugon tuhon wewaler biasanya terkait dengan hal-hal yang lebih besar, misalkan jangan mengadakan perhelatan perkawinan di bulan Sura. Pada masa sekarang, orang akan berdalih bahwa “semua hari itu baik”, dan karenanya kapan pun mengadakan hajatan pernikahan, akan sama saja. Akan tetapi perlu kita perhatikan bahwa dalam kehidupan orang Jawa di masa lalu, kalender hidup mereka telah ditata dengan sedemikian baik, sehingga secara ekonomis (jika cerdas memanfaatkannya) akan cenderung terkelola: pada bulan Pasa setelah sebulan beribadah puasa, pada bulan Sawal orang merayakan dua peristiwa, yakni Bakda dan Kupatan yang menyerap sumber daya dan sumber dana yang tidak sedikit. Pada bulan selanjutnya, yakni bulan Sela atau Longkang, orang menabung lagi karena pada bulan Besar selain ada upacara Idul Qurban bagi yang beragama Islam, juga banyak orang yang mengadakan hajat perkawinan dengan harapan akan mendapatkan sesuatu yang besar, seperti yang dialami oleh para Nabi di dalam bulan sakral tersebut. Dengan peniadaan kekhususan masing-masing bulan, orang Jawa kemudian terjebak dalam pengeluaran terus-menerus yang kadang tidak diimbangi dengan kemampuan menabung, dan pada akhirnya justru berimbas lebih jauh kepada lunturnya tatanan sosial-budaya yang telah mapan.
Gugon-tuhon pun dengan demikian bukanlah sebuah takhayul dengan isapan jempol semata, melainkan menjadi sebuah upaya bagi orang Jawa untuk menjamin keberlangsungan tatanan sosial-budaya dan keberlanjutan ekosistem kemasyarakatannya di tengah terpaan zaman, lebih-lebih di era post-globalisasi yang penuh dengan hingar-bingar, sampai mengakibatkan orang Jawa menjadi gamang dan bingung karena tidak memiliki pegangan paradigmatik lagi dalam menyikapi hidup. Yang justru takhayul murni adalah hal-hal yang timbul dari fenomena global ini: berapa banyak dari kita yang percaya bahwa dengan me-retweet sesuatu akan mendapat keberuntungan mendadak? dan berapa orang yang dengan lugunya percaya dengan hasil tes yang dikembangkan aplikasi-aplikasi third party pengumpul data pribadi kita, bahwa bulan depan kita akan menikah dengan gadis pujaan hati?
Pada akhirnya, semua kembali kepada kearifan kita dalam menyikapi segala hal, terutama di tengah zaman yang ewuh aya ing pambudi ini.
Penulis: Rudy Wiratama & Ilham Ramadhan Putra Sukaca
(Artikel ini pernah dimuat dalam https://smarabudaya.pusdibud.ugm.ac.id/2021/12/05/gugon-tuhon-dan-modernitas-tantangan-menjadi-orang-jawa-di-tengah-simpang-peradaban/)